itu adalah puncak sebuah keberhasilan yang
tidak mungkin bisa lebih baik lagi, atau puncak kegagalan yang tak mungkin lagi terpecahkan.
Kurang lebih demikian
penjabaran dari peribahasa ’seperti katak dalam tempurung’. Yang menjadi
permasalahan adalah, tidak sedikit dari manusia yang tidak menyadari
bahwa dirinya bagai seekor katak yang terkungkung dalam tempurung.
Dirinya menganggap bahwa kondisi saat ini adalah kondisi terbaik bagi
nasibnya. Tidak perlu neko-neko
atau aneh-aneh.
Bagi orang-orang yang seringkali dilanda kegagalan, falsafah ‘nrimo ing pandum’
pada umumnya menjadi pegangan yang dianggap paling tepat. Atau bagi
orang yang merasa tidak memiliki bekal pengetahuan cukup, menyikapi
nasib dengan sikap pasrah dan lemah. Sedang bagi sebagian orang yang
mendapatkan sedikit ‘keberhasilan’ terburu-buru merasa bahwa saat ini
adalah waktunya menikmati jerih payah. Masa banting tulang sudah
terlewati, saatnya memanen sambil berleha-leha menikmati secangkir kopi.
Ini lah sebenarnya ruang luas ‘comfort zone’ yang membuat lalai dan
cepat puas atau putus asa.
Sangat banyak orang ingin
menggapai puncak kesuksesan, dan tidak sedikit orang yang menggantungkan
cita-cita setinggi langit. Namun, hanya sedikit di antaranya yang siap
mengambil langkah besar menaiki tangga kesuksesan yang tentunya penuh
dengan aral dan ujian. Bahkan sangat sedikit sekali orang-orang yang
siap melewati resiko dengan keberanian dan kematangan pertimbangan.
Justru, kebanyakan malah menghindari jalan terjal menuju kesuksesan.
Mereka lebih senang dengan ‘alon-alon asal klakon’ dibanding
berupaya keras menghancurkan pagar batu psikologis kita. Karena
menganggap “inilah yang terbaik buat saya, tidak perlu ngoyo segala sesuatunya sudah ada yang ngatur”.
Padahal dunia ini penuh sesak dengan peluang dan kesempatan, tentunya bagi orang-orang yang mau melakukan ‘great jumping’
atau loncatan besar dalam hidup ini. Dan kesempatan itu tidak hanya
diperuntukkan bagi orang-orang yang ‘beruntung’ saja, tetapi juga bagi
setiap orang yang memiliki motivasi untuk hidup lebih baik dan terus
lebih baik lagi.
Siapa sangka seorang Mark
Spancer yang hingga meninggal dunia tidak pernah bisa membaca dan
menulis di akhir hayatnya memiliki puluhan outlet fashion pemilik merk
ternama. Atau seorang Matsushita, dimana karena kemiskinannya hari
berkabung atas kematian ayahnya hanya diketahui dan dihadiri 3 orang
saja, dirinya, ibunya, dan saudaranya, namun dikemudian hari menjadi
salah satu pengusaha sukses pemilik perusahan raksasa Matsushita atau
kita biasa mengenal Panasonic Gobel. Dan masih banyak kisah-kisah nyata
lainnya yang seharusnya dapat menjadi motivasi bagi setiap kita untuk
mampu menaiki satu persatu anak tangga keberhasilan yang tiada ujung
ini.
Lalu apa yang harus kita lakukan?
Hal pertama yang harus ada pada
diri kita adalah ‘mimpi yang besar’, bukan angan-angan kosong.
Bagaimana mungkin mampu meraih sukses besar jika untuk memimpikannya
saja tidak berani? Mimpi akan menjadi energi tak terhabiskan untuk
memburu cita-cita besar, sesulit apapaun, sejauh apa pun. Hal kedua,
adalah dengan motivasi yang kuat. Sebagian yang diungkapkan oleh
Matsushita dihadapan kematian ayahnya adalah, “Saat saya meninggal
nanti, maka semua orang harus mengetahui kematian saya”. Dan waktu
kemudian memberi bukti, saat kematian Matsushita tokoh-tokoh dunia
seperti Bill Clinton menghadiri pemakamannya. Ketiga, adalah dengan
berupaya keras merajut tangga keberhasilan meski kegagalan kadang
menjadi penghambatnya. Dan terakhir adalah, berfikiran besar dan berani
mengambil resiko dalam meraih tujuan.
Apa perbedaan seseorang yang
sempit otak dengan orang yang berfikiran besar menyikapi tentang malam
yang gelap gulita. Orang yang sempit otak akan berfikir bahwa, datangnya
gelap pertanda tibanya waktu meluruskan badan dan meregangkan otot.
Atau saatnya mengumpat dan mengumbar cacian karena tidak bisa berbuat
apa-apa. Tetapi bagi orang yang berfikiran besar, maka gelap menjadi
motivasi melakukan karya besar sebagaimana Alpha Thomas Edison bekerja
keras menciptakan ‘cahaya’ untuk menaklukkan gelap. Meskipun orang-orang
disekitarnya menganggap gila dan sesuatu pekerjaan yang sia-sia.
Demikianlah kenyataanya, bahwa
seringkali kita tidak menyadari bahwa kita seperti katak dalam
tempurung. Merasa tidak mungkin bisa berubah lagi atau merasa besar
dengan kekerdilan kita. Enggan mencoba melakukan loncatan besar untuk
meraih kondisi yang lebih baik lagi karena merasa bahwa saat ini adalah
waktunya menerima nasib atau memetik hasil.
Lalu mengapa tidak berfikir
untuk mulai memecahkan tempurung yang mengungkung kita? Sebab diluar
sana dunia masih begitu luas dan menjanjikan peluang dan kesempatan yang
tiada batas!